Sudah sekitar dua bulan saya bertukar langit. Dari Jombang, Jawa Timur, yang suasananya masih kental dengan getaran "Kota Santri" yang tenang, ke daratan Kalimantan yang luasnya bikin saya merasa seperti butiran debu di tengah peta. Pindah pulau itu bukan cuma soal packing baju dan urusan ekspedisi, tapi soal adaptasi mental yang luar biasa.
Kalau di Jombang panasnya masih ada sisa-sisa angin sepoi-sepoi dari sawah, di Kalimantan sini panasnya seperti matahari sedang melakukan test drive tepat di atas ubun-ubun. Tapi, tantangan terbesar saya sebenarnya bukan suhu udara, melainkan fase hidup baru, tinggal satu atap dengan mertua.

Banyak orang bilang, menantu dan mertua itu seperti minyak dan air, susah nyampur. Tapi, buat saya, Mama (begitu saya memanggil ibu mertua saya) sudah saya anggap seperti ibu sendiri. Beliau adalah sosok pejuang yang "pendiam." Beliau seorang pensiunan PNS Guru.
Dari profesi mulia itulah, beliau berhasil menuntaskan misi yang mungkin kalau dihitung pakai logika matematika biasa, hasilnya bakal error, menyekolahkan empat anaknya sampai lulus termasuk suami saya ke perguruan tinggi.
Bayangkan, di era sekarang, biaya masuk kuliah sudah setara dengan harga motor matic terbaru per semesternya. Tapi beliau, dengan gaji guru dan segala keterbatasan di masa itu, berhasil mengantarkan semua anaknya ke pintu gerbang yang lebih baik. Beliau adalah arsitek masa depan anak-anaknya, meski beliau sendiri jarang menikmati kemewahan bangunan yang beliau bangun itu.
"Mama Nggak Pernah Beli Roti Enak Sendiri"
Kejadiannya sore itu, di tengah cuaca Kalimantan yang sedang gerah-gerahnya. Saya pulang membawa sebuah tentengan kecil. Sebuah roti dari toko yang tampilannya cukup mencolok, tipe roti yang sedikit premium yang teksturnya selembut awan, aromanya wangi mentega mahal, dan kalau digigit, rasanya seperti ada pesta di dalam mulut.
Di Jombang dulu, mungkin saya sering jajan begini tanpa mikir panjang. Tapi di sini, momen jajan ini jadi pembuka mata yang luar biasa. Saat kami duduk santai di dapur, saya menyodorkan roti itu ke Mama. Beliau mengambil potongan kecil, mencicipinya, lalu menatap roti itu seolah sedang melihat benda asing dari luar angkasa.
Dengan nada yang sangat datar, bukan nada mengeluh, tapi nada jujur yang menusuk, beliau berkata, "Mama nggak pernah beli roti enak sendiri"
Kalimat itu cuma tujuh kata. Singkat, padat, tapi efeknya buat saya seperti kena stunning di tengah game. Saya terdiam. Ada rasa nyesek yang tiba-tiba naik ke tenggorokan.
Saya melihat sosok di depan saya ini. Seorang perempuan yang sudah puluhan tahun berdiri di depan kelas, mengajar ribuan murid, mengoreksi ribuan kertas ujian, dan menghabiskan sisa energinya untuk memastikan empat anaknya bisa makan layak dan sekolah tinggi.
Ternyata, dalam proses "membesarkan" orang lain, beliau lupa "membesarkan" dirinya sendiri. Beliau bahkan tidak pernah mengizinkan lidahnya mengecap sepotong roti enak karena di kepalanya, uang itu selalu punya peruntukan yang lebih penting, semesteran anak, sepatu sekolah anak, atau biaya kos anak.
Matematika Kasih Sayang, Kenapa Ibu Selalu Memilih "Roti Biasa"?
Kalau kita bedah secara psikologis, kenapa ya seorang ibu, apalagi yang punya penghasilan tetap, bisa sampai se-ironis itu dalam memanjakan diri? Ada tiga alasan yang saya temukan setelah merenung berhari-hari:
1. Ego yang "Sudah Mati" Demi Anak Seorang ibu adalah makhluk paling aneh di dunia. Mereka punya kemampuan untuk menekan rasa lapar dan keinginan pribadi sampai ke titik nol. Di kepala Mama, uang 20 ribu atau 50 ribu itu tidak pernah dilihat sebagai "roti enak untuk saya." Tapi selalu dilihat sebagai "uang ini bisa buat beli lauk buat semua orang." Selama puluhan tahun, beliau sudah terbiasa menaruh dirinya di urutan paling buncit di daftar prioritas.
2. Trauma Hemat di Masa Sulit, Menyekolahkan empat anak sampai kuliah dengan gaji guru itu butuh manajemen keuangan yang lebih ketat daripada anggaran negara. Kebiasaan hidup super irit ini akhirnya jadi "karakter." Bahkan setelah anak-anaknya sukses dan beliau punya uang pensiun, mentalitas itu tetap ada. Mungkin beliau merasa "berdosa" kalau harus beli sesuatu yang bersifat kemewahan kecil. Baginya, itu pemborosan. Beliau sudah lupa caranya bersenang-senang untuk diri sendiri.
3. Kebahagiaan yang "Dititipkan" ke Anak, Banyak ibu merasa sudah kenyang kalau melihat anaknya kenyang. Mereka merasa sudah pakai baju bagus kalau melihat anaknya pakai baju bagus. Ini manis, tapi sekaligus tragis. Karena seringkali, kita sebagai anak malah jadi "tuman" atau terbiasa menerima, sampai lupa kalau ibu kita juga manusia yang punya indera perasa.
Membahagiakan Ibu, Bukan Pilihan, Tapi Utang Nyawa
Momen Hari Ibu biasanya penuh dengan ucapan selamat di WhatsApp, postingan foto di Instagram dengan caption puitis, atau hadiah bunga yang besoknya layu. Tapi lewat kejadian roti ini, saya sadar, membahagiakan ibu itu bukan soal seremoni setahun sekali. Itu adalah misi harian.
Membahagiakan ibu dan mertua adalah wajib. Kenapa? Karena kita tidak akan pernah bisa membayar "waktu" yang mereka buang demi kita. Kita tidak bisa membayar setiap kecemasan mereka saat kita sakit, atau setiap doa yang mereka bisikkan di tengah malam saat kita bahkan lupa untuk berdoa.
Kita sering bilang, "Nanti kalau sudah kaya banget, saya mau ajak Mama keliling dunia." Padahal, mungkin Mama nggak butuh keliling dunia. Mungkin beliau cuma butuh di hari tuanya, dia bisa makan roti enak tanpa rasa bersalah. Beliau butuh rasa aman bahwa di sisa hidupnya, ada yang menemaninya bicara dan mendengarkan setiap keluh kesahnya.
Pengorbanan ibu itu tanpa batas, maka bakti kita juga harusnya tidak punya syarat. Jangan tunggu kita punya harta berlimpah baru mau berbakti. Berbakti itu dimulai dari hal-hal kecil yang "melek" empati.
Tips Menjadi Anak/Menantu yang Lebih Peka
Setelah dua bulan di Kalimantan dan belajar dari "Tragedi Roti Premium" ini, saya punya beberapa tips buat kita semua agar lebih peka terhadap orang tua kita.
- Jangan Tanya "Mau Apa?", Tapi Langsung "Ini Buat Mama." Kalau kita tanya mau apa, jawabannya pasti "nggak usah, Mama masih punya" atau "uangnya disimpan saja." Langsung saja belikan. Kalau perlu, pakai "kebohongan putih" soal harganya supaya beliau nggak kepikiran.
- Scan Sekitar, Apa yang Sudah Usang? Lihat sendal jepitnya, lihat selimutnya, lihat HP-nya. Biasanya orang tua bakal pakai barang sampai benar-benar hancur baru ganti. Jadilah orang yang menggantinya sebelum barang itu rusak.
- Hadirkan "Kemewahan" dalam Keseharian Kemewahan buat orang tua itu sederhana, ditemani ngobrol, dibelikan makanan favorit, atau diajak jalan-jalan sore tanpa ada gangguan HP.
Penutup dari saya, perjalanan dari Jombang ke Kalimantan ini mengajarkan saya satu hal penting. Jarak ribuan kilometer tidak ada artinya kalau hati kita tetap dekat. Menjadi menantu bukan berarti menjadi orang asing, tapi menjadi anak tambahan yang punya tugas baru, memastikan sisa hidup orang tua kita penuh dengan rasa aman dan nyaman.
Mama mungkin tidak pernah membeli roti enak untuk dirinya sendiri selama puluhan tahun demi suami saya dan saudara-saudaranya. Maka sekarang, adalah tugas kami untuk memastikan beliau tidak pernah lagi harus memakan "roti yang biasa saja."
Kereta kehidupan terus melaju, dan orang tua kita tidak semakin muda. Di Kalimantan yang panas ini, saya belajar bahwa kesejukan yang sesungguhnya bukan berasal dari AC yang menyala 24 jam, melainkan dari senyum seorang ibu yang merasa dihargai di hari tuanya.Kisah Mama dan roti premium ini jadi alarm buat saya. Jangan sampai kita menjadi anak yang sukses, ibarat berada di puncak gedung pencakar langit, tapi membiarkan pondasi bangunan itu, yaitu orang tua kita tetap berada di ruang bawah tanah yang gelap dan dingin.
Perjuangan ibu itu tanpa batas, maka balas budi kita pun harusnya melampaui logika. Kalau hari ini kamu bisa makan enak, pastikan ibumu atau mertuamu merasakannya juga. Jangan biarkan mereka hanya menjadi penonton dari kesuksesan yang mereka bangun sendiri dengan air mata dan keringat.
Sebab, pada akhirnya, bukan seberapa tinggi gelar yang kita punya, tapi seberapa lebar senyum yang bisa kita hadirkan di wajah mereka sebelum waktu mereka habis. Dan percayalah, melihat Mama menikmati roti enak dengan tenang, rasanya jauh lebih memuaskan daripada makan roti paling mahal sedunia sendirian.




0 comments: