Pada tahun 2023 lalu, Astra mengumumkan 5 finalis 14th SATU Indonesia Awards. Para finalis merupakan generasi muda yang berprestasi yang dianggap memiliki kontribusi positif bagi masyarakat. Khususnya di bidang lingkungan, pendidikan, teknologi, kewirausahaan, dan kesehatan.
Theresia Dwiaudina Sari Putri, yang merupakan seorang bidan lulusan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Surabaya asal NTT, terpilih menjadi salah satu penerima penghargaan SATU Indonesia Awards ke-14 tersebut karena kontribusinya di bidang kesehatan.
Kisah perjalanan bidan Theresia Dwiaudina Sari Putri penerima penghargaan SATU Indonesia Awards ke-14 ini sangat menarik untuk disimak.
Pasalnya, jika dilihat dari sisi kemanusiaan, apa yang telah dilakukan oleh Dinny yang rela mengorbankan kenyamanan pribadi demi membantu orang lain merupakan sesuatu yang langka di era modern ini.
Dinny juga dikenal gigih dan pantang menyerah dalam menghadapi berbagai kesulitan. Terutama dalam mengedukasi ibu-ibu hamil di desa terpencil agar mau bersalin di fasilitas kesehatan (faskes).
Bagi saya, kisah Dinny ini adalah bukti nyata bahwa setiap individu memiliki potensi untuk menjadi pahlawan. Ia mengajarkan kita bahwa kebaikan sekecil apapun pasti bisa membawa dampak yang besar bagi dunia.
Dinny Muda Tak Bercita-cita Menjadi Bidan
Sejak duduk di Sekolah Menengah Atas (SMA), Dinny, begitu ia akrab disapa, memiliki jiwa seni yang tinggi dan ingin penyanyi Gereja.
Namun cita-cita tersebut terpaksa harus dikubur karena orang tuanya justru berharap ia melanjutkan sekolah di bidang kesehatan.
Meski dengan berat hati, Dinny tetap mengikuti keinginan orang tuanya tersebut. Beruntung, ia tak ingin menyia-nyiakan kesempatan tersebut.
Dinny sempat mendapatkan tawaran menarik untuk bekerja di tempat ia praktek kerja lapangan saat masih kuliah, namun cita-citanya untuk menjadi bidan di desa kelahirannya membuatnya tak ragu menolak tawaran tersebut.
Meskipun pada akhirnya hanya dipekerjakan sebagai tenaga honorer di Puskesmas Kecamatan Nangapanda, NTT, dan tanpa menerima bayaran, namun semangat Dinny tak pernah surut.
Praktis, Dinny hanya dibayar hanya saat melakukan tugas-tugas di luar, seperti tugas membantu program asistensi Puskesmas untuk pendataan ke desa-desa. “sebagai tenaga honorer di sana saya tidak dibayar. Kalau ada pekerjaan di luar, barulah saya dibayar, itupun seikhlasnya saja.” Terang Dinny dalam salah satu wawancara.
Bidan Dinny, Image source from cantika.com |
Dinny Diangkat Menjadi Bidan Honorer di Desa Uzuzozo
Setahun mengabdi menjadi tenaga Honorer di Puskesmas Kecamatan Nangapanda, Dinny kemudian mendaftarkan diri untuk menjadi bidan honorer di desa tetangga, yaitu Desa Uzuzozo yang masih berada di wilayah Kecamatan Nangapanda, Ende, NTT.
Keinginannya untuk mendaftarkan diri sebagai bidan Honorer di desa terpencil tersebut tidak lain karena jiwanya merasa terpanggil untuk membantu masyarakat di desa terpencil yang terkenal dengan medannya yang ekstrem tersebut.
Ya, akses yang sulit ke Desa Uzuzozo telah membuat banyak bidan enggan bertugas di sana. Sehingga, desa tersebut tidak memiliki bidan dan hanya mengandalkan dukun beranak untuk membantu ibu-ibu saat bersalin.
Selain mengalami tantangan medan yang berat untuk bisa mengakses desa Uzuzozo, Dinny juga pada awalnya mendapatkan penolakan dari masyarakat setempat yang sudah terbiasa dibantu bersalin oleh dukun beranak.
Namun, berkat kerja keras dan dedikasinya, perlahan Dinny mulai diterima oleh masyarakat desa. Saran-sarannya kepada ibu-ibu agar mau bersalin di fasilitas kesehatan (Puskesmas) pun mulai didengarkan.
Tak hanya melakukan pendekatan kepada masyarakat, Dinny juga melakukan pendekatan kepada dukun beranak di desa tersebut dengan menawarkan kerjasama dalam membantu ibu-ibu hamil bersalin.
Gayung pun bersambut. Dukun beranak bernama Theresia Jija (75 tahun) pun luluh, karena Dinny menawarkan kerjasama yang bertujuan untuk meringankan pekerjaannya tanpa mengurangi pendapatannya sebagai bidan.
Setiap hari, Dinny terus memberikan edukasi kepada ibu-ibu hamil agar mau melahirkan di faskes, dan agar mau memperbaiki gizi anak-anak mereka agar anak-anak tidak mengalami stunting.
Keengganan ibu-ibu melahirkan di faskes sebagian besar disebabkan oleh medan tempuh ke faskes yang sulit, ditambah lagi, mereka harus melewati sungai.
Namun berkat kegigihan Dinny dalam mengedukasi masyarakat, khususnya ibu-ibu hamil, kini sudah mulai banyak ibu-ibu hamil yang bersedia melahirkan di faskes.
Banyak momen menarik yang terjadi selama Dinny menjadi bidan di desa tersebut. Seperti kisah seorang ibu yang terpaksa melahirkan di bawah pohon di tengah-tengah gerimis saat waktu menunjukkan pukul 3 dini hari misalnya.
“Kami bentangkan tikar di bawah pohon pinggir jalan. Warga yang lain memegang senter. Saya lalu persilakan ibu tersebut untuk ngeden di bawah gerimis hujan. Ibu itu, lalu melahirkan satu bayi perempuan sehat,” kata Dinny mengenang pengalamannya tersebut.
Awal Masa Bertugas
Pada awal-awal bertugas Dinny mendapatkan kenyataan bahwa, masyarakat desa rata-rata tidak menjalani pemeriksaan kehamilan, tidak mengikuti program Keluarga Berencana, dan memiliki tradisi bersalin di dukun beranak.
Selain tidak menggunakan prosedur kesehatan saat bersalin di dukun beranak, balita-balita di desa tersebut juga tidak mendapatkan imunisasi dan gizi yang layak.
Namun dengan penuh dedikasi, Dinny rela setiap hari naik motor demi menjangkau warga yang membutuhkan. Ia memeriksa ibu hamil dan memberikan imunisasi pada anak-anak. Serta, getol memberikan edukasi tentang kesehatan dan gizi. Mengingat, salah satu masalah terbesar yang dihadapi anak-anak Desa Uzuzozo adalah angka stunting yang tinggi.
Banyak anak-anak di sana mengalami kekurangan gizi sehingga pertumbuhannya terhambat. Dinny pun gencar melakukan sosialisasi tentang pentingnya gizi seimbang dan memberikan penyuluhan kepada para ibu tentang cara mengolah makanan yang bergizi melalui kegiatan Posyandu.
Di Posyandu, Dinny aktif melibatkan masyarakat dalam kegiatan posyandu sembari mengajarkan para ibu tentang cara merawat bayi yang benar, pentingnya menjaga kebersihan lingkungan, dan cara mencegah penyakit menular.
Menurut Kepala Desa Uzuzozo, Iwan Ray, pada 2019 selalu terdapat sekitar 15 anak yang mengalami stunting. Namun setelah Dinny gencar memberikan edukasi, jumlahnya menurun drastis, hingga kini menyisakan hanya 3 anak.
Tak hanya mendedikasikan diri untuk membantu masyarakat bersalin dan memberikan edukasi kesehatan bagi masyarakat, Dinny juga berusaha meluangkan waktunya mengajar anak-anak SD di desa tersebut, khususnya di bidang seni tarik suara dan bahasa Inggris.
Dewi Penyelamat Kesehatan Desa
Meskipun seringkali harus berjalan kaki dalam menjalankan tugasnya karena banyak jalan-jalan yang tidak bisa dilalui dengan sepeda motor, dan meskipun harus bertugas di Poskesdes (Pos Kesehatan Desa) tanpa air, listrik, dan sinyal seluler, Dinny tetap berusaha menjalankan perannya sebaik mungkin.
Perjuangan Dinny ini tentu saja sangat menginspirasi. Bahkan, Camat setempat menjuluki Dinny sebagai “Dewi Penyelamat Kesehatan Desa.”
Dinny telah membuktikan bahwa dengan semangat yang tinggi dan dedikasi yang kuat, siapapun pasti bisa membuat perubahan besar, bahkan di tempat yang paling terpencil seperti Desa Uzuzozo sekalipun.
Terpilih Menjadi Finalis 14th SATU Indonesia Awards 2023
Meski dengan peralatan seadanya dan gaji bulanan hanya Rp 1,5 jutaan per bulan, Dinny terus berusaha memberikan edukasi kesehatan kepada masyarakat.
Selain memberikan edukasi sanitasi agar warga tidak buang hajat di kali, Dinny juga rutin menyadarkan warga untuk mengikuti program KB karena pasangan subur di Desa Uzuzozo rata-rata memiliki antara 7 hingga 8 anak.
Dedikasinya sebagai bidan honorer untuk membantu meningkatkan kesehatan ibu dan anak serta kesehatan masyarakat di Desa Uzuzozo, Ende, NTT membuat Dinny terpilih sebagai salah satu dari 5 finalis SATU Indonesia Award pada tahun 2023.