Human story inspiratif tentang Jamaluddin – SATU Indonesia Award 2017 (Bidang Pendidikan)
Di banyak kampung, termasuk di tempat saya sendiri, nasib pendidikan anak-anak masih sering ditentukan oleh keadaan rumah mereka, bukan kemampuan kepala mereka.
Ada yang sebenarnya cerdas, tetapi kalah oleh jarak sekolah yang terlalu jauh. Ada yang semangatnya besar, tetapi terbentur ongkos seragam, buku, atau sekadar biaya transportasi. Ada pula yang terpaksa mengubur cita-cita karena merasa pendidikan tinggi bukan dibuat untuk “anak sawah.”
Yang paling menyedihkan, bukan karena mereka tidak mampu berpikir, melainkan karena mereka tidak pernah diberi cukup kesempatan untuk mencoba.
Fenomena ini bukan hanya terjadi di sini. Di berbagai pelosok Indonesia, ceritanya sama: anak-anak dari keluarga petani tumbuh dalam keterbatasan akses, minim pendampingan, tanpa bimbingan belajar, dan tanpa sosok mentor yang bisa menunjukkan bahwa mereka juga berhak bermimpi panjang.
Persis seperti di sebuah desa di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan — tempat seorang pemuda bernama Jamaluddin menyaksikan realitas yang sama.
Ia melihat teman-teman sebayanya satu per satu berhenti sekolah, bukan karena tidak mampu, tetapi karena merasa masa depan bukanlah ruang yang disediakan untuk mereka.
Keresahan yang Pelan-Pelan Menjadi Tanggung Jawab
Sebagai anak desa, Jamaluddin mengenal betul rasanya “tidak punya pilihan.” Ia selalu percaya bahwa ketimpangan pendidikan bukan terjadi karena anak petani kurang cerdas, tetapi karena mereka kurang dibukakan pintu.
Tidak ada tempat bertanya, tidak ada mentor, tidak ada teladan. Yang ada hanyalah nasihat untuk “ikut saja jejak orang tua”, alih-alih didorong untuk melampaui.
Namun peristiwa kecil kadang menjadi kompas hidup. Ketika suatu hari ia mendapati adik kelasnya, yang pintar dan penuh rasa ingin tahu, tiba-tiba berhenti sekolah karena harus membantu di sawah, hatinya seolah ditarik paksa, “Kalau tidak ada yang menjadi jembatan, mereka akan terus terputus dari peluang.”
Di sinilah keputusannya lahir... bukan menunggu bantuan dari luar, tetapi menciptakan ruang belajar dari dalam desa sendiri.
Belajar Dimulai dari Sebuah Ruang Tamu
Jamaluddin membuka rumahnya sebagai “kelas pertama.” Meja bukanlah keharusan, karena tikar pun cukup. Tidak ada papan tulis besar, hanya catatan seadanya. Tidak ada absen, yang ada hanya kehangatan dan rasa aman.
Anak-anak datang pelan-pelan, lalu semakin ramai. Ada yang membawa buku lusuh, ada yang membawa kebingungan, ada pula yang datang hanya untuk mendengar. Dari sinilah konsep pendampingan tiga pilar pelan-pelan tumbuh:
1. Akses Pendidikan: Membuka Pintu yang Tidak Pernah Ada
Bagi banyak anak petani di desa Jamaluddin, masalah terbesar bukan terletak pada kemampuan memahami pelajaran, tetapi pada akses untuk mendapatkannya.
Tidak ada bimbingan belajar, tidak ada ruang diskusi, dan tidak ada tempat untuk mengulang pelajaran yang belum dipahami di sekolah.
Karena itu, langkah pertama yang dilakukan Jamaluddin adalah menghadirkan kelas belajar gratis di rumahnya sendiri.
Dari tikar sederhana dan buku-buku sumbangan, anak-anak mulai menemukan kembali rasa percaya diri untuk memahami pelajaran.
Akses ini seperti jembatan, mendekatkan jarak yang selama ini membuat mereka tertinggal, sekaligus menegaskan bahwa kesempatan belajar seharusnya tidak eksklusif bagi mereka yang mampu membayar.
2. Dukungan Mental & Karakter: Menumbuhkan Keberanian untuk Bermimpi
Setelah pintu akses terbuka, tantangan berikutnya justru datang dari dalam diri anak-anak itu sendiri. Banyak dari mereka terlanjur merasa bahwa masa depan tinggi “bukan kelas mereka.”
Maka Jamaluddin tidak berhenti di soal materi pelajaran; ia menjadi mentor, tempat anak-anak bercerita, bertanya, bahkan menangis. Perlahan, pendampingan ini membongkar keyakinan lama yang membatasi mereka.
Ia tidak sekadar mengajarkan rumus, tetapi juga menanamkan keyakinan bahwa mereka layak mencoba. Karena pendidikan sejati bukan hanya membukakan buku, melainkan membukakan cara pandang: bahwa seorang anak desa pun berhak sampai sejauh mana pun mimpinya membawa.
3. Literasi & Soft Skill: Membentuk Anak yang Berdaya, Bukan Sekadar Mengerti Pelajaran
Begitu anak-anak mulai percaya pada diri mereka, Jamaluddin membawa mereka ke tahap berikutnya: membangun keberanian untuk berpikir.
Ia mulai mengajarkan kebiasaan membaca, berdiskusi, menganalisis persoalan sederhana, hingga keterampilan bertanya. Dari sinilah muncul literasi fungsional, bukan sekadar fasih mengeja, tetapi mampu memahami.
Anak-anak tidak lagi pasif menunggu diajari, mereka mulai aktif belajar. Karena tujuan akhirnya bukan mencetak nilai bagus semata, melainkan membentuk pribadi yang merasa mampu menyelesaikan masalah dan membuat keputusan. Ilmu tidak hanya berhenti di kepala, tetapi mengalir menjadi keberdayaan.
Program ini tidak hanya menjawab kompetensi akademik, tetapi juga kebutuhan emosional. Sebab kegagalan terbesar pendidikan di desa sering bukan ketiadaan sekolah, tetapi ketiadaan keyakinan: “Aku bisa.”
Pendidikan yang Mengembalikan Harga Diri
Ketika anak-anak mulai merasa “layak belajar,” sesuatu berubah di mata mereka. Mereka bukan lagi murid yang selalu merasa tertinggal, mereka menjadi pembelajar yang sadar bahwa dirinya punya nilai.
Beberapa dari mereka kemudian lolos ke sekolah yang lebih baik. Ada yang pertama kali dari keluarganya berhasil kuliah. Ada pula yang kembali menjadi relawan kecil: mengajar adiknya di rumah, membantu tugas teman, atau sekadar mengatakan, “Ayo belajar sama-sama.”
Pelan-pelan, hal-hal kecil yang ia lakukan mulai tumbuh menjadi kebiasaan baik. Anak-anak yang dulu ragu pada diri sendiri, kini lebih percaya saat melangkah. Dari satu keberanian, lahir keberanian berikutnya, sampai akhirnya tercipta lingkungan tempat mereka saling menguatkan.
Saat Dedikasi Berbuah Pengakuan
Upaya sederhana itu kemudian diperhatikan banyak pihak, hingga pada tahun 2017, Jamaluddin dinobatkan sebagai penerima SATU Indonesia Award (Bidang Pendidikan), sebuah pengakuan bahwa perubahan dari akar rumput layak dihargai, dan bahwa penggerak desa tidak harus menunggu “besar” untuk diakui.
Penghargaan ini bukan garis akhir, tetapi titik tolak baru, semakin memperkuat pesan bahwa inovasi sosial bisa dimulai bahkan dari sebuah ruang tamu kecil di pinggir sawah.
Lalu, kita kembali pada pertanyaan besar
Jika Jamaluddin bisa, berangkat dari keresahan, tanpa fasilitas khusus, bermodalkan empati, maka siapapun bisa melanjutkan semangat itu. Apalagi hari ini, semakin banyak anak muda yang peduli tapi bingung bagaimana menyalurkannya.
Program seperti SATU Indonesia Awards bukan sekadar ajang seleksi, tetapi inkubator keyakinan. Kamu bisa membaca mekanismenya di laman resmi mereka jika suatu hari kamu ingin melangkah sejauh yang Jamaluddin lakukan: https://anugerahpewartaastra.satu-indonesia.com/2024/mekanisme/.
Dan jika kamu sedang membangun sesuatu untuk masyarakat, sekecil apapun tahapnya, percayalah, itu tidak kecil bagi orang yang menerimanya. Barangkali tinggal satu langkah lagi sebelum kamu siap membesarkan dampak itu. Pendaftaran dapat diakses di sini: https://satuindonesiaawards.astra.co.id/.





0 comments: