Saat sedang searching referensi untuk menulis, saya tak sengaja melihat foto sebuah sekolah di Papua yang langsung mengingatkan saya pada kondisi di salah satu desa transmigrasi yang ada di Bengkulu sekitar 20 tahun yang lalu.
Sumber: puslapdik.kemdikbud.go.id
Foto di atas adalah sebuah potret suasana sekolah di pedalaman Papua yang memperlihatkan seorang guru (Diana Cristiana Da Costa Ati) yang sedang memberikan pembekalan kepada para murid SD di pedalaman Papua sebelum memasuki kelas.
Foto tersebut diambil pada tahun 2021. Ya, kondisi seperti pada foto di atas memang sudah jarang kita temukan di sekolah-sekolah yang ada di pulau Jawa.
Tapi sebaliknya, pemandangan tersebut masih sangat lazim jika kita berkunjung ke pulau lain seperti Maluku, Nusa Tenggara Timur, atau di Papua.
Begitulah potret pendidikan di wilayah Papua pedalaman yang masih serba terbatas. Keterbatasan tersebut disebabkan oleh berbagai faktor. Mulai dari, kondisi geografis, sosial, maupun ekonomi.
Sulitnya medan untuk menjangkau daerah Papua pedalaman, tidak dipungkiri merupakan salah satu faktor yang menyulitkan program pemerataan pendidikan.
Sekolah-sekolah yang ada di pedalaman Papua seringkali terisolasi karena lokasinya yang ada di pegunungan, jauh di dalam hutan, atau terpisah oleh sungai. Sehingga, kadang-kadang aksesnya hanya bisa dilakukan melalui perjalanan udara, dengan menggunakan perahu, hingga dengan jalan kaki yang tak jarang memakan waktu lebih dari sehari.
Selain akses yang sulit, fasilitas pendidikan di berbagai daerah di Papua juga sangat terbatas. Banyak sekali sekolah-sekolah di pedalaman yang infrastruktur atau bangunannya kurang layak, kekurangan alat belajar, kekurangan buku, dan bahkan meja serta kursi.
Sumber: puslapdik.kemdikbud.go.id
Kondisi inilah yang turut memperburuk kualitas pendidikan di pedalaman Papua, karena menyebabkan proses belajar mengajar jadi kurang efektif.
Kendala lainnya yang membuat pendidikan di Papua pedalaman masih tertinggal adalah faktor ketersediaan tenaga pengajar yang sangat terbatas.
Banyak guru yang enggan ditempatkan di daerah-daerah terpencil karena tantangan yang berat seperti yang telah saya sebutkan di atas tadi. Mulai dari fasilitasnya yang minim, terasing secara sosial, dan sulitnya mengakses berbagai kebutuhan dasar.
Namun berbagai kendala tersebut tidak menyurutkan semangat Diana Cristiana Da Costa Ati untuk meningkatkan taraf pendidikan di pedalaman Papua.
Diana Cristiana Dacosta Ati: Sosok inspiratif yang mendedikasikan hidupnya untuk mengabdi di dunia pendidikan di pelosok Papua Selatan
Meskipun Diana sejatinya adalah perempuan kelahiran Dili, Timor Leste, namun karena ia tumbuh dan besar di wilayah Nusa Tenggara Timur, dan banyak mengenyam pendidikan di Indonesia, ia pun tak segan mengganti kewarganegaraannya menjadi warga negara Indonesia.
Latar belakang pendidikan dan kecintaannya pada dunia pendidikan serta semangatnya untuk memajukan pendidikan di pedalaman Papua membuat Diana merasa terpanggil untuk menyumbang tenaga sebagai pengajar di sana.
Perempuan lulusan Pendidikan Profesi Guru Universitas Widya Dharma Klaten dan FKIP Prodi Pendidikan Pancasila & Kewarganegaraan Universitas Nusa Cendana Kupang ini pertama kali datang ke Papua setelah mengikuti program Guru Penggerak pada tahun 2018.
Setelah menyelesaikan tugasnya sebagai guru penggerak selama 2 tahun, Diana kembali mengikuti program guru penggerak di Papua pada tahun 2021.
Kali ini, dia ditempatkan di Kampung Atti yang berlokasi di Distrik Minyamur, Kabupaten Mappi, Papua Selatan.
Kampung Atti berlokasi cukup jauh dari kabupaten Mappi. Untuk mengakses kampung ini, dibutuhkan waktu sekitar 2 hari perjalanan dengan menggunakan kendaraan, perahu, dan jalan kaki.
Di kampung yang dihuni oleh sekitar 200 kepala keluarga ini terdapat sebuah Sekolah Dasar Negeri yang sudah tutup sejak pandemi (2019).
Selain karena tidak ada tenaga pengajar, mindset masyarakat yang menyebutkan bahwa ‘mereka tidak harus sekolah untuk bisa mencari makan’ membuat pendidikan generasi muda di kampung tersebut sangat memprihatinkan.
Ketika Diana sampai di Kampung Atti. Ia menemukan kenyataan bahwa, kondisi bangunan sekolah sangat memprihatinkan. Di sana juga belum ada rumah dinas yang bisa ia tempati.
Tak hanya itu, akses kebutuhan dasar seperti air juga sangat terbatas. Karena itu, tak mengherankan apabila ia sampai 3 kali mengalami infeksi saluran kemih di tahun pertamanya bertugas di kampung Atti.
Namun berbagai kekurangan tersebut tak membuatnya menyerah. Sebaliknya, pada kondisi pendidikan di Papua pedalaman membuatnya lebih bersemangat untuk mengajak anak-anak di Kampung Atti bersekolah sembari memberikan pengertian kepada para orang tua agar mau menyekolahkan anak-anak mereka.
Perjuangan Diana untuk memberantas buta huruf di Kampung Atti mendapatkan tantangan berat. Karena, banyak sekali anak-anak muridnya yang duduk di bangku SD kelas 5 atau kelas 6 yang masih belum lancar membaca dan menulis.
Untuk mengejar ketertinggalan, Diana memfokuskan kegiatan belajar mengajar pada 3 mata pelajaran yaitu membaca, menulis, dan berhitung, di samping menanamkan nilai-nilai nasionalisme melalui mata pelajaran PKN.
Tujuan utamanya adalah memberikan pendidikan agar siswa yang lulus dari SD bisa memenuhi syarat minimal untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang SLTP.
Kekurangan Buku adalah Kendala Utama Mengajar di Kampung Atti
Salah satu kendala yang paling mempengaruhi kualitas belajar mengajar di SDN Atti adalah kurangnya jumlah buku dan alat menulis.
Kekurangan buku tersebut tidak hanya disebabkan oleh faktor akses ke kota yang jauh, tapi juga disebabkan oleh kondisi masyarakat Kampung Atti yang jarang memiliki uang.
Bagi masyarakat di Kampung Atti, uang memang tidak terlalu sering mereka butuhkan. Pasalnya, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti sandang dan pangan, mereka bisa memperolehnya dari alam.
Untuk mengatasi kendala ini, Diana berinisiatif untuk menggalang dana dari donatur. Termasuk salah satunya adalah dengan mendaftarkan diri menjadi calon penerima SATU Indonesia Awards yang diinisiasi oleh Astra International Tbk pada tahun 2022.
Kisah perjuangan Diana memberantas buta huruf di pedalaman Papua (Kampung Atti) hingga mampu meluluskan banyak siswa yang dapat melanjutkan sekolah ke jenjang SMP membuat para juri SATU Indonesia Awards memilihnya sebagai salah satu finalis pada perhelatan SATU Indonesia Awards untuk tahun 2023.
Berkat kehadiran Diana dan dua rekannya, sekarang semakin banyak anak-anak di kampung Atti yang bersekolah. Tidak hanya itu, jika sebelumnya tidak ada lulusan yang bisa melanjutkan sekolah ke jenjang SLTP karena tidak memenuhi syarat, pada tahun 2022 terdapat 24 siswa lulusan SDN Atti yang melanjutkan sekolah mereka ke jenjang SLTP atau kelas VII.
Penutup
Seringkali kita merasa rendah diri karena kita menganggap hal-hal kecil yang kita lakukan tidak ada artinya. Padahal, sekecil apapun kontribusi kita pasti memiliki arti yang sangat besar bagi kemajuan bangsa di masa depan.
Lihatlah sosok Diana Cristiana Dacosta Ati, yang dengan dedikasinya di pelosok Papua mampu mengubah kehidupan anak-anak Kampung Atti melalui pendidikan. Seperti Diana, kalian juga memiliki kesempatan untuk menjadi bagian dari perubahan dan kemajuan bangsa ini.
Jika kalian memiliki kontribusi bagi kemajuan bangsa dan negara, atau bagi komunitas kecil yang membutuhkan uluran tangan, seperti yang dilakukan Diana Cristiana Dacosta Ati di pelosok Papua, mendaftarkan diri kalian sekarang juga sebagai calon penerima SATU Indonesia Awards dengan mengunjungi official website Astra Group yang beralamat di www.astra.co.id/satu-indonesia-awards.
0 comments: